Selasa, 20 Januari 2009

Kura - kura *

Saya baru saja pindah rumah—dan kura-kura saya ikut. Sudah berapa
kali saya pindah rumah? Mula-mula karena pindah dari kontrakan satu
ke kontrakan yang lain, kemudian setelah punya rumah, masih juga
dipersilakan pindah oleh banjir, yang memang datang berkali-kali
tanpa tanda-tanda akan berhenti.

Dalam semua peristiwa itu, kura-kura tersebut selalu ikut. Waktu
banjir besar tahun 2002 maupun 2007, kura-kura itu selalu
menghilang, tetapi selalu kembali lagi, merayap melalui pintu depan
setelah air surut. Bukankah banjir memang tak menjadi masalah bagi
seekor kura-kura?

Dialah satu-satunya dari empat kura-kura yang masih bertahan dalam
gerusan waktu. Dua ekor langsung mati setelah dua minggu, yang dua
bertahan lama bersama-sama. Sekarang, mungkin setelah 25 tahun,
tinggal satu ekor. Sebetulnya itu bukan kura-kura saya, melainkan
kura-kura anak saya. Saat pemiliknya mengepakkan sayap dan
meninggalkan rumah, kura-kura itu tetap tinggal, tetap selalu
menatap saya dengan pandangan seolah-olah mengerti.

Apakah yang bisa dimengerti oleh seekor kura-kura? Entahlah. Namun,
ada yang saya coba mengerti dari pengalaman saling menatap selama 25
tahun itu.

Misalnya bahwa ia hidup sendirian dalam beberapa tahun terakhir,
karena satu-satunya kura-kura yang menjadi teman hidup telah
dibunuhnya. Mereka memang selalu berebut makanan. Selalu saling
menyakiti sehingga terlalu sering terpaksa saya memisahkannya. Teman
yang satunya itu selalu kalah dan selalu tertindas, tetapi selalu
melawan agar tetap mendapat makanan.

Pertanyaan saya, apakah survival of the fittest ini masih harus
berlaku ketika satu-satunya kolam hanya dihuni oleh dua kura-kura
itu saja? Istilah “dunia milik kita berdua” bagi manusia tidak
berlaku bagi kura-kura.

Apakah arti hidup bagi kura-kura yang telah menguasai dunia itu,
jika sisa hidup, yang barangkali masih akan lama, dijalaninya
sendirian saja? Apakah dia puas dan bisa menikmati kekuasaannya,
ataukah dia kesepian? Melihatnya berenang sendirian, berjemur diri
di bawah matahari, atau menyeret tubuhnya di antara kaki-kaki kursi
di dalam rumah, saya melihat suatu paradoks: Di satu pihak, ia
bagaikan seorang penguasa tunggal dalam dunianya; di lain pihak, ia
tak lebih tak kurang hanyalah makhluk lemah, yang tentu saja tidak
menyadari kelemahannya sama sekali.

Tapi, tidakkah kita semua kadang-kadang begitu?


oleh : Seno Gumira Ajidarma
*) Harian Kompas. edisi Selasa, 18 Desember 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar